Oleh : Anriono Guritno Purba | 2 November 2021
Pernikahan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan bisa bertahan selamanya. Namun dalam perjalanannya sering kali terjadi retaknya perkawinan yang berujung terjadinya perceraian yang mengakibatkan konflik perebutan hak asuh anak dari hasil perkawinan tersebut. Meskipun dalam prosesnya keputusan hak asuh anak dapat disepakati oleh kedua belah pihak, namun apabila terjadi perselisihan akan diputus oleh Pengadilan sebagai pihak yang berwenang sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara berdasarkan dalam catatan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang Januari-Juni 2021 tercatat 3.668 kasus terkait Pemenuhan Hak Anak dan Perlindungan Khusus Anak yang dimana dari angka terebut terdapat 107 kasus soal perebutan hak asuh.
Sumber artikel: https://seruji.co.id/konsultasi/konsultasi-hukum-seruji/hak-asuh-anak-dalam-perceraian/
Bagaimana Cara Mendapat Hak Asuh Atas Anak?
Hak asuh atas anak dapat diajukan pada Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi mereka yang bergama non-Islam, maka hak asuh atas anak dapat diajukan pada Pengadilan Negeri. Diajukan dalam bentuk permohonan hak asuh, tentunya dengan melampirkan Akta Cerai orang tua dan Akta Kelahiran anak itu sendiri.
Bagaimana Jika Hak Asuh Atas Anak Jadi Suatu Perselisihan?
Bagi yang beragama non-Muslim dasar hukum mengenai Perkawinan diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah mengalami perubahan berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undnag-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut sebagai “UUP”), dalam Pasal 41 huruf a kepentingan dikatakan bahwa;
“Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
terkait bunyi pasal tersebut UUP tidak mengatur secara terperinci bahwa pemberian hak asuh anak dibawah umur diberikan kepada siapa namun UUP Pasal 41 hanya mengatur apabila terdapat perselisihan mengenai hak asuh anak, para pihak dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri yang atinya kebijakan pemberian hak asuh tersebut diserahkan kepada Majelis Hakim dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang ada pada persidangan.
Sedangkan bagi yang beragama Islam terkait dengan pemberian hak asuh anak, Pengadilan Agama pada umumnya langsung memberikan hak asuh anak dibawah umu kepada ibu dimana hal tersebut mengacu kepada Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105 yang menyatakan;
“Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.”
Apabila Majelis Hakim menilai bahwa ibu tersebut tidak dapat menjalankan kewajibanya, maka hak asuh diberikan kepada ayah tentunya keputusan Majelis Hakim tersebut mempunyai cukup bukti-bukti kuat.
Namun ada hal yang perlu digarisbawahi, yakni pemberian hak asuh oleh Pengadilan kepada salah satu orang tua tersebut tidak serta merta mengurangi tanggungjawab kedua orang tua terhadap pemeliharaan anaknya.
Bagaimana Jika Para Pihak Lalai Memenuhi Putusan Pengadilan Dalam Hak Asuh Anak Yang Diberikan?
Jika salah satu orang tua yang diberikan hak asuh tidak memenuhi kewajibannya untuk memelihara anak tersebut secara dengan sebaik-baiknya, sedangkan pihak lain yang tidak diberikan kuasa atas hak asuh anakjuga melalaikan kepentingan anak maka dalam UUP Pasalnya yang ke-49 yang mengatur bahwa Pengadilan dapat mencabut kekuasaan tersebut dan kemudian menunujuk wali sebagai pelaksana pemeliharaan anak tersebut. Bisa dikatakan kekuasaan hak asuh anak tersebut bisa dicabut sewaktu-waktu apabila dapat dibuktikan bahwa melalaikan kewajibannya.